Al-Quran adalah sumber pemikiran, sumber hukum
dan sumber segala kebajikan yang esensinya adalah kalam ilahi yang suci.
Al-Quran adalah pola bagi hidup dan kehidupan seluruh umat manusia. Maka setiap
muslim atau muslimah wajib mengetahui dan memahami bahwa Kitabullah itu adalah
syari’ah dan risalah-Nya yang umat manusia harus merealisasikannya dalam hidup
dan kehidupannya serta berjalan di atas petunjuk-Nya.
Banyak ayat Al-Quran yang menceritakan Ahlulbait
atau keluarga Nabi yang disucikan yang antara lain seperti di bawah ini:
Surah Al-Ahzab:33 Dalam ayat ini
Allah menyebut mereka Ahlulbait.
Dia berfirman:
“Innamâ yuridu l`llâhu liyudzhiba
‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhirâ”.
Yang
artinya:
“Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan al-rijs dari kamu wahai
Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.” (QS 33/33).
Imam Ja’far Al-Shadiq ditanya mengenai makna
al-rijs yang terdapat pada ayat diatas. Beliau menjawab: “Al-Rijsu itu adalah al-syakk
(keraguan)”. (Ma’ani l`Akhbar). Jika kita tidak taat kepada Allah dalam
satu perkara, maka hal itu telah menunjukan kepada keraguan kita terhadap-Nya,
semakin banyak ketidaktaatan kita kepadanya, maka semakin besar pula keraguan
kita kepada-Nya. Ahlulbait yang disucikan itu sedikit pun tidak pernah ragu
kepada-Nya, oleh karena itu tidak ada satu pun keburukan atau kemaksiatan yang
mereka lakukan. Dan tidak adanya keraguan dari mereka, dikuatkan dengan
pensucian sesuci-sucinya, yang demikian itu menunjukan bahwa mereka memiliki
sifat ‘ishmah yang sangat kuat,
mereka adalah orang-orang ma’shum (tidak melakukan dosa dan kesalahan).
Sebagian kaum muslim beranggapan bahwa tafsir
ahlul`bayt yang terdapat pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw,
mereka menafsirkan demikian barangkali dikarenakan awal ayat tersebut ditujukan
kepada istri-istri Nabi yaitu :
“Dan
hendaklah kamu (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kamu, dan janganlah
kamu bersolek seperti kaum jahiliah yang pertama, dan dirikanlah salat,
tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah serta Rasul-Nya…”.
Tafsir seperti itu rasanya tidak benar karena
kata ganti (personal pronoun, dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbait
berbeda; untuk istri-istri Nabi dhamirnya mu`annats (feminine) sedangkan untuk
Ahlulbait dhamirnya mudzakkar (masculine). Kedua mereka tidak memakai tafsir
atau penjelasan dari Rasulullah dan para sahabatnya, padahal orang yang paling
mengetahui tafsirnya adalah Nabi saw, dan Al-Quran telah memerintahkan kita
untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini (yang artinya):
“Dan telah
Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir”.
(Al-Nahl
44). “
Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar kamu
jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
(Al-Nahl
64).
“Apa
yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakan dan apa-apa yang dia larang
maka tinggalkanlah, dan ber-taqwa-lah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
keras siksa-Nya”. (QS 59/7).
“Wahai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Uli l`amri
(para khalifah Rasulullah yang dua belas) dari kamu…”.
(QS 4/59).
Kemudian siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam
Al-Ahzab 33 menurut Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Marilah kita perhatikan
beberapa riwayat berikut ini : Ummu l`mu`minin Aisyah mengatakan : “Pada suatu
pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang
berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau
memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya;
kemudian datang Fathimah,lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu
beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Sesungguhnya Allah hendak
menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian
sesuci-sucinya’”. (Lihat Shahih Muslim bab fadha`il Ahli bayti l`Nabiyy;
Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan Tafsir Ibnu
Jarir Al-Thabari 22/5). Amer putra Abu Salamah – anak tiri Rasulullah –
mengatakan : “Ketika ayat ini (innama yuridu l`llahu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa
ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhira) diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau
memanggil Fathimah, Hasan dan Husayn sedangkan Ali as. berada di belakang
beliau. Kemudian beliu mengerudungi mereka dengan kain seraya beliau berdoa :
‘Ya
Allah mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan
mereka sesuci-sucinya’.
Ummu Salamah berkata: ‘Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?’ Beliau bersabda : ‘Engkau tetap di tempatmu, engkau dalam
kebaikan’”. (Al-Turmudzi 2:209, 308 ; Musykilu l`Atsar 1:335; Usudu
l`Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7). Dari Ummu Salamah bahwa
Nabi saw. telah mengerudungkan sehelai kain ke atas Hasan, Husayn, Ali, Fatimah
lalu beliau berkata, “Ya Allah, mereka
ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan
dan sucikan mereka sesuci-sucinya,”. Kemudian Ummu Salamah berkata: “Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah ?”.
Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau
berada di atas kebaikan”. (HR Al-Turmudzi 2:319). Anas bin Malik telah
berkata : “Rasulullah saw pernah melewati pintu rumah Fatimah ‘alayha l`salam
selama enam bulan, apabila beliau hendak keluar untuk shalat subuh, beliau
berkata, ‘Salat wahai Ahlulbait!
Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai Ahlulbait dan
mensucikanmu sesuci-sucinya’”. (HR Al-Turmudzi 2 : 29). Itulah beberapa
kesaksian dari beberapa kitab rujukan bahwa Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab itu
bukan istri-istri Nabi saw melainkan Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn sekalipun
ayat tersebut digabungkan penulisannya dengan ayat yang menceriterakan
istri-istri Nabi saw sebab di dalam Al-Quran mushhaf ‘utsmani ini terkadang
dalam surah makkiyyah terselip di dalamnya beberapa ayat madaniyyah atau
sebaliknya atau satu ayat mengandung dua cerita seperti pada ayat diatas dan
tentu para ulama telah maklum adanya.
Surah Al-Syura:23 Ketika orang-orang musyrik
berkumpul di satu tempat pertemuan mereka, tiba-tiba berkatalah sebagian dari
mereka kepada yang lainnya : Apakan kalian melihat Muhammad meminta upah atas
apa yang dia berikan ? Kemudian turunlah ayat : “Katakanlah aku tidak meminta
upah dari kalian selain kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba”. (Al-Zamakhsyari
dalam tafsirnya Al-Kasysyaf). Kemudian beliau berkata: Telah diriwayatkan
ketika ayat tersebut turun bahawa ada orang yang bertanya: Wahai Rasulullah,
siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas kami mencintai mereka? Beliau
menjawab: “Mereka itu adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya (Hasan dan
Husayn)”. Ayat tersebut di atas telah mewajibkan seluruh manusia untuk
mencintai (mengikuti) keluarga Nabi atau Ahlulbait dan mencintai mereka
merupakan dasar di dalam ajaran Islam.
“Segala
sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai Ahlulbaitku”.
(Hadits
yang mulia).
Dan jika kita membenci mereka maka amal baik kita
akan menjadi sia-sia dan kita masuk neraka. Sabdanya :
“Maka
seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan saum kemudian dia
berjumpa dengan Allah (mati) sedangkan dia benci kepada Ahlulbait Muhammad,
niscaya dia masuk neraka.” Al-Hakim
memberikan komentar terhadap sabda Nabi ini
sebagai berikut: “Ini hadits yang baik lagi sah atas syarat Muslim”. ( Kitab
Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/148). Surah Ali ‘Imran:61 Ayat ini disebut
sebagai ayat mubahalah karena di dalamnya ada ajakan untuk ber-mubahalah dengan
para pendeta nasrani. Adapun terjemahannya: “Siapa yang menbantahmu tentang dia
(Al-Masih) setelah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah (kepada mereka):
Marilah, kami memanggil anak-anak lelaki kami dan (kamu memanggil) anak-anak
lelaki kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu dan
diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita bermubahalah dan kita tetapkan laknat
Allah atas mereka yang berdusta”. Saksi sejarah yang hidup dan kekal yang
diriwayatkan ahli-ahli tarikh dan tafsir telah memberikan kejelasan kepada
khalayak akan kesucian keluarga Nabi saw yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.
Ayat tersebut menunjukan betapa agungnya kadar dan kedudukan mereka di sisi
Allah ‘azza wa jalla.
Diantara kasus yang disampaikan para muarrikh,
mufassir dan muhaddits ialah peristiwa mubahalah, yaitu ketika datang utusan
dari masyarakat keristen Najran untuk membantah Rasulullah—shalla l`llahu
‘alayhi wa alihi wa sallam—kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas agar
beliau memanggil Ali, Fathimah. Hasan dan Husain. Beliau keluar membawa mereka
ke lembah yang telah ditentukan dan para pemimpin keristen pun membawa
anak-anak dan perempuan-perempuan mereka. Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya
Al-Kasysyaf berkata : “Sesungguhnya ketika mereka diseru untuk bermubahalah
mereka mengataakan : ‘Nanti akan kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala
mereka berpaling (dari mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi
juru bicara mereka : ‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia
berkata: Demi Allah, kalian juga tentu mengetahui wahai umat nasrani bahwa
Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia datang kepadamu membawa penjelasan
mengenai Isa (Yesus). Demi Allah tidak ada satu kaum pun yang mengadakan
mubahalah dengan seorang Nabi lalu mereka hidup.
Dan jika kalian melakukan mubahalah dengannya
niscaya kalian semua pasti binasa, dan apabila kalian ingin tetap berpegang
kepada ajaran kalian maka tinggalkan orang tersebut dan pulanglah ke kampung
halaman kalian”. Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong Husayn dan
menuntun Hasan dan Fathimah berjalah di belakang beliau sedang Ali berjalan di
belakang Fathimah. Nabi bersabda : “Bila aku menyeru kalian maka berimanlah !”.
Melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup Najran : “Wahai umat keristen,
sungguh aku melihat wajah-wajah yang sendainya mereka berdoa kepada Allah agar
Dia (Allah) menghilangkan sebuah gunung dari tempatnya pasti doa mereka akan
dikabulkan, oleh karena itu tinggalkan mubahalah sebab kalian akan celaka yang
nantinya tidak akan tersisa seorang keristen pun sampai hari kiamat”. Akhirnya
mereka berkata : “Wahai Abul Qasim, kami telah mengambil keputusan bahwa kami
tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin tetap memeluk agama kami.” Rasul
bersabda : “Jika kalian enggan mubahalah maka terimalah Islam bagi kalian dan
akan berlaku hukum atas kalian sebagai mana berlaku atas mereka (muslimin yang
lain).” Kemudian Al-Zamakhsyari–rahimahu l`llah–menjelaskan kedudukan Ahlulbait
ketika menafsirkan ayat mubahalah, setelah dia menjelaskan keutamaan mereka
melalui riwayat dari Aisyah dengan mengatakan : “Diantara mereka ada yang
diungkapkan dengan anfusana (diri-diri kami); ini adalah untuk mengingatkan
akan tingginya kedudukan mereka dan ayat ini adalah dalil yang sangat kuat
dari-Nya atas keutamaan ashhabu l`kisa` (Ahlulbait)—‘alayhimu l`salam”.
Pertunjukan mubahalah yang tidak terjadi itu
telah menampilkan dua kekuatan yaitu iman versus syirik, dan manusia-manusia
mukmin yang tampil waktu itu (Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn)
adalah para tokoh petunjuk, umat terkemuka dan orang-orang suci. Seruan mereka
tidak boleh dibantah dan kalimat mereka tidak boleh didustakan. Dari sini kita
dapat memahami bahwa apa-apa yang datang dari mereka baik pemikiran, syari’ah,
tafsiran, petunjuk maupun pengarahan adalah berlaku; mereka adalah orang-orang
yang benar dalam ucapannya, perjalanan hidupnya dan tingkah lakunya. Al-Quran
telah menganggap setiap yang berlawanan dengan mereka adalah musuh-musuh, dan
menjadikan musu-musuh mereka sebagai orang-orang yang berdusta serta berpaling
dari kebenaran yang sepantasnya mendapat laknat dan azab. “…maka kami jadikan
laknat Allah atas mereka yang berdusta.” Dan juga dari segi bahasa yang sangat
dalam pada ayat tersebut yang harus kita perhatikan, yakni ketika mereka
disandarkan kepada Nabi. Hasan dan Husayn disebut sebagai “anak-aknak kami”,
Fathimah sebagai perempuan-perempuan kami” dan Ali sebagai “diri-diri kami”.
Di sini Imam Ali disandarkan kepada diri Nabi
yang suci. Sesungguhnya Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa
sallam–hanya mengeluarkan empat orang ke arena mubahalah, ini berarti
memberikan penjelasan kepada kita bahwa Fathimah Al-Zahra`–‘alayha
l`salam–perempuan pilihan yang harus diteladani umat manusia; Imam Hasan dan
Imam Husayn—‘alayhima l`salam–adalah anak-anak umat yang wajib kita taati
sedangkan Iamam Ali–‘alayhi l`salam–adalah dianggap diri Nabi sendiri.
Ahlulbait dalam Sunnah Nabi saw Orang yang membaca sunnah-sunnah Nabi saw,
perjalanan hidupnya dan memperhatikan hubungannya dengan Ahlulbaitnya yang
telah ditegaskan di dalam Al-Quran yakni Ali, Fathimah adan kedua putranya,
pasti dia mengetahui bahwa Ahlulbait Nabi mempunyai tanggung jawab risalah
dengan umat ini. Rasulullah saw telah menggariskannya untuk umat agar mereka
menerimanya sebagai perinyah dari Allah ‘azza wa jalla. Langkah pertama yang
ditempuh Nabi saw ialah melaksanakan perintah Allah, yaitu menikahkan Fathimah
kepada Ali bin Abi Thalib.
Beliau menanam pohon yang diberkati agar
cabang-cabangnya menjangkau segala ufuk umat ini di sepanjang sejaarahnya.
Tentang pernikahan itu Nabi bersabda kepada Imam Ali—salam atasnya :
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku agar aku menikahkanmu kepada Fathimah
dengan mahar empat mitsqal perak jika engkau rela dengan yang demikian.” Dia
berkata: “Aku rela dengan yang demikian.” Dari pernikahan yang diberkati itu
lahir Imam Hasan dan Imam Husayn.
Dan dari sulbi Imam Husayn lahir sembilan
Ahlulbait Nabi yang suci. Dzurriyyah (keturunan) Nabi melalui sulbi Imam Ali as
sebagaimana yang beliau katakan : “Sesungguhnya Allah telah menjadikan
keturunan setiap nabi dari sulbinya, tetapi dzurriyyahku dari sulbi orang ini
yakni Ali.” Cerita Ahlulbait Nabi saw dalam sunnahnya lebih banyak lagi, baik
tentang Fathimah sebagai sayyidatu nisa` l`’alamin, pengangkatan Ali sebagai
khalifah Nabi yang pertama, Ahllulbait sebagai padanan Al-Quran, kedudukan
mereka, dua belas imam maupun yang lainnya. Di sini kita ceritakan dua hal
saja, yaitu yang paling mengikat: Ahlulbait sebagai bahtera keselamatan dan
Ahlulbait padanan Al-Quran.
Bahtera Keselamatan Abu Nuaym telah meriwayatkan
hadits yang sanadnya dari Sa’id bin Jubayr dari Ibnu Abbas dia berkata bahwa
Rasulullah saw telah mengatakan : “Perumpamaan Ahlulbaitku pada kamu adalah
semisal bahtera Nuh—‘alayhi l`salam—barangsiapa yang mengikutinya pasti selamat
dan yang berpaling darinya pasti dia tenggelam.” Hadits Nabi ini diriwayatkan
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 2/343. Dia berkata : Hadits ini
sah berdasarkan persyaratan Muslim.
Pesan dari sunnah Nabi ini ialah bahwa kita hanya
akan selamat jika mengikuti Ahlulbait Nabi yang disucikan. Padanan Al-Quran
Ahlulbait telah dijamin kesuciannya, mereka yang menjaga tafsir Al-Quran dan
sunnah-sunnah Rasul, mereka yang menjaga kesucian ajaran Islam dari penambahan
dan pengurangan, dari bid’ah, khurafat dan takhayyul. Supaya umat tidak
tersesat, maka Rasulullah saw berpesan kepada manusia agar tida tersesat jalan,
sabdanya : “Wahai umat manusia! Sesungguhnya telah kutinggalkan pada kamu yang
apabila kamu berpegang dengannya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan
‘itrahku Ahlulbaitku.” (HSR Al-Turmudzi 2/308). Ahlulbait Dikenal Umat
Terdahulu Ahlulbait telah dikenal oleh umat-umat terdahulu, antara lain oleh
Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa—salam atas mereka. Nabi Adam –salam
atasnya–telah bermohon kepada Allah dengan hak mereka. Ibn Abbas telah berkata
: “Saya telah bertanya kepada Rasulullah saw tentang kalimat-kalimat yang telah
diterima Adam dari Rabb-nya hingga Dia menerima taubatnya. Nabi saw bersabda :
“Dia telah bermohon (kepada Allah) : Dengan hak Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan
dan Husayn terimalah taubatku, lalu Dia menerima taubatnya”. (Al-Durr
al-Mantsur ketika menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla : “fatalaqqa ‘Adamu
min Rabbihi kalimat,” (QS. Al-Baqarah 37), baca juga kitab Kanzu l`‘Ummal
1:234. Sebuah team ahli peneliti Rusia telah menemukan tumpukan kayu bekas
kapal Nabi Nuh as. yang di dalamnya terdapat tulisan doa tawassul dengan Nabi
Muhammad saw dan Ahlulbaitnya. Mohammad, Ali, Hassan, Hossain, Fatema. Pada
bulan Juli tahun 1951, sebuah team riset Rusia di sekitar gunung Judi di
perbatasan Uni Soviet dan Turki secara tidak sengaja, mereka menemukan beberapa
kuburan tumpukan kayu-kayu yang telah bobrok yang terssusun secara luar biasa.
Di antara tumpukan kayu tersebut ditemukan satu
plat kayu yang berukuran sekitar 10 x 14 inci. Pada palat kayu tersebut terukir
beberapa kalimat dalam bahasa kuno yang sudah tidak dikenal. Pada tahun 1953
pemerintah Uni Soviet menunjuk sebuah komisi peneliti yang terdiri dari tujuh
orang ahli (untuk meneliti penemuan tersebut), mereka menyimpulkan bahwa
tumpukan kayu itu adalah bagian bahtera Nabi Nuh—‘alayhi l`salam–yang terkenal
itu. Dan kata-kata yang terukir pada plat kayu adalah kata-kata dari bahasa
Samani, yaitu suatu bahasa yang sudah sangat tua. Kata-kata tersebut telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Inggris oleh Prof. N.F. Thomas, seorang
ahli bahasa-bahasa kuno dari Manchester, Inggris. Pada plat kayu itu terdapat
ukiran telapak tangan dengan lima jari. Pada kelima jari tersebut terdapat
tulisan masing-masing: Muhammad, Ali, Hasan (syabar), Husayn (Syubayr), dan
Fathimah. (Di bawahnya terdapat doa tawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dengan mereka): “Wahai Tuhanku, wahai penolongku, aku berdoa dengan
kemurahan-Mu melalui tubuh-tubuh suci yang Engkau ciptakan, mereka terbesar dan
termulia, tolonglah aku melalui nama mereka, engkaulah yang mendatangkan
cahaya”. Plat kayu itu sekarang terpelihara dengan aman pada Museum Arkeologi
dan Riset, Moscow, Uni Soviet. (Sumber : The Bulletin of The Islamic Center
“UNDER SIEGE” P.O. BOX 32343 Wahington D.C. N.W. 20007 Vol. 7 No. 10 Rabi al-Awwal
6, 1408/Oktober 30,1987).
Pada zaman Nabi Musa ‘alayhi l`salam, ketika Bani
Isra`il diperintahkan Allah untuk mencari lembu betinadan mereka sangat rewel
menerima perintah tersebut hingga akhirnya mereka merasa kesulitan dalam
pencariannya sebab sapi betina itu sifat-sifatnya harus kuning langsat yang
elok dipandang mata, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, tidak ada
belangnya sedikit pun dan belum pernah digunakan untuk membajak tanah. Kemudian
sapi tersebut mereka temukan namun harganya sangat mahal karena memang sapi
betina tersebut tidak akan dijual. Akhirnya mereka kumpulkan harta untuk
membayarnya. Setelah itu Bani Isra`il jatuh miskin dikarenakan hartanya habis
dipakai membayar lembu betina, lantas mereka protes kepada Nabi Musa as.
Kemudian Nabi Musa—‘alayhi l`salam—berkata kepada mereka : “Jahil kamu,
alangkah butanya hati-hati kamu tidakkah kamu dengar doa pemuda yang punya
lembu betina itu dan kekayaan yang diwarirkan Allah ta’ala kepadanya ? Tidakkah
kamu dengar doa orang yang dibunuh yang digergaji yang dikaruniai usia panjang
dan kebahagiaan serta kenikmatan dengan inderanya ? Mengapa kamu tidak berdoa
semisal doa tawassul mereka agar Dia menutup kemiskinan kamu ?”. Kemudian
mereka mengatakan (dalam doanya) : “Ya Allah, kepada-Mu kami berlindung dan
kepada karunia-Mu kami bersandar, maka hilangkanlah kemiskinan kami dan
tutuplah kebutuhan kami dengan keagungan Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan
Husayn dan orang-orang yang baik dari keluarga mereka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentar ya...