Selasa, Desember 07, 2010

Tentang Waliyullah Part 2


Tentang Kewalian
Setelah para sufi meninggal dunia, maka tinggallah murid-muridnya. Para murid berusaha melestarikan ajaran syaikhnya dengan cara taqlied.  Sekelompok orang yang mengikatkan diri secara taqlid kepada pendapat dan ajaran seorang sufi disebutlah Tarekat.  Kalau mereka mengikatkan diri kepada pendapat dan pengalaman suci syaikh Abdul Qadir Jailani, disebutlah Tarekat Qadiriyah..

Dikenallah nama-nama tarekat sesuai syaikh yang jadi anutannya, misalnya tarekat Naqsyabadiyah, Tarekat Tijaniyah, Tarekat Sanusiah, dll, Yang terakhir adalah tarekat  Muhhammadiyah atau tarekat  Suhaimiyah (Darul Arqam Malaysia),  sebab nama tokoh spiritualnya bernama Muhammad Suhaimi.

Penjelasan lebih rinci sbb :

Pengertian tarekat (thariqah, jamaknya taraiq) secara etimologis antara lain berarti jalan (kaifiyah), metode, sistem (al-uslub), haluan (madzhab), atau keadaan (al-halah).   Secara istilah tarekat bisa bermacam-macam, yakni
(i)  Perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan".
(ii)  Tarekat adalah organisasi keagamaan dalam Islam yang menghimpun anggota-anggota sufi yang sepaham bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.   Dalam pengertian ini maka tarekat adalah organisasi orang-orang yang mengikat diri kepada satu faham, pendapat (madzhab) dan pengalaman suci seorang sufi (mursyid), misalnya Tarekat Qadiriyah ialah sekelompok orang yang mengikatkan diri kepada faham, pendapat dan pengalaman suci Syaik Al-Tijani, dll.
(iii) Tarekat bisa juga bermakna wirid atau dzikir-dzikir yang dirumuskan sedemikian rupa yang harus dibaca dengan jumlah tertentu. Adapun tarekat yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tarikat dalam pengertian ke dua.

Masalah pokok yang sering dibicarakan dalam tarekat adalah konsep Wali Allah dan karamah. Dari kedua konsep ini akan berkembang kepada masalah-masalah lain, misalnya konsep tawashul (berdoa dengan menggunakan perantara), dan yaqazah wa al-musyafahah (bertemu dengan nabi dan bercakap, baik mimpi maupun jaga).

Dari segi bahasa Arab, wali berarti yang menolong atau yang mencitai. Sedangkan dari segi istilah bisa dua makna.
1.     Wali bermakna manusia saleh atau manusia yang selalu bertaqwa. Jadi setiap orang saleh adalah wali. Siapapun—asal mampu—boleh menjadi wali dan oleh karena itu jumlah wali tidak terbatas. Akan tetapi tidak ada seorangpun dapat mengetahui apakah seseorang itu wali atau bukan. Ayat yang dipakai sandaran adalah surat Yunus ayat 62 – 63 : "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka yang selalu bertaqwa".
2.     Wali dalam perspektif sufi atau literatur Orientas disebut Saint adalah orang-orang yang sangat saleh dengan menekankan dimensi mistiknya.  Wali dalam pengertian ini keistimewaan di luar kemampuan manusia biasa, atau disebut karamah.

Wali dalam pengertian pertama disepakati adanya, sedangkan wali dalam pengertian ke dua yang menekankan  aspek mistiknya tidak disepakati, sehingga banyak orang tidak setuju dengan sebutan wali Sanga misalnya, karena predikat wali hanya diberikan oleh Allah dan hanya Allahlah yang mengetahui siapa yang wali dan siapa yang bukan.

Bagaimana konsep wali, menurut Darul Arqam  ? Jawabannya dapat kita ketahui dari paparan berikut ini. Menurut Ashaari Muhammad, wali adalah orang yang rohaninya telah sangat bersih dan tingkat keimanannya sudah mencapi level iman Haqiqat.

Menurut Abdul Halim (DA) , baik jalan mauhibah maupun suluk akan melahirkan wali-wali. Selanjutnya wali-wali ini diklasifikasi menjadi beberapa level, yakni wali Ahbab, Sadat, Autad, Nujabak dan wali Kutub.   Penjelasannya sbb :
1.     Wali Gaus (Kutub Al-Aktab) yakni wali ketua, disebut juga Sultan Aulia. Jumlahnya hanya satu orang dalam setiap tahun.
2.        Wali Kutub (Jamaknya Aktab). Dalam setiap zaman hanya empat orang.
3.        Wali Najib (Jamaknya Nujabak), bilangan mereka untuk sezaman hanya 300 orang
4.        Wali Watab (Jamaknya Autad) bilangan mereka dalam satu zaman hanya empat orang.
5.       Wali Badal (Jamaknya Abdal), bilangan mereka untuk satu zaman antara 40 sampai 60 Orang.
6.        Wali Naqib (Jamaknya Nuqabak), bilangannya untuk sezaman hanya 40 orang.

Menurut Ashaari, nama-nama wali tersebut berdasarkan kepada hadits nabi, antara lain hadits dari Ali Ibn Abi Thalib :

Rasulullah saw bersabda : wali Abdal sebanyak 40 orang lelaki dan 40 orang perempuan, tatkala mati seorang lelaki, Allah menggantikan di tempatnya dengan lelaki lain. Begitu pula setiap kali mati seorang perempuan, Allah menggantinya dengan perempuan lain di tempat itu".

"Sesungguhnya Ali Ibn Abi Thalib berkata : Wali Abdal dari syam, wali Nujaba' dari penduduk Mesir, dan wali Akhba dari penduduk Irak".

Orang-orang yang termasuk wali menurut DA adalah :
1.          para sahabat nabi terutama Khulafa al-rasyidin
2.          Imam madzhab terutama madhab yang Empat.
3.          Para Mujaddid terutama Umar ib Abd Al- Aziz dan imam Al-Mahdi
4.          Para perawi hadits seperti imam Bukhari dan muslim.
5.          Pengasas-pengasas tarekat
6.     Ulama-ulama besar terutama Imam Hasan Al-Bashri, Junaidi Al-Baghdaddi, Yazid Al-Bustami, Abdul Qadir Jailani, Al-Ghazali, Abu Hassan Syazali, Imam Sayuti, Imam Nawawi dan syaikh Ramli
7.   Dikalangan wanita di antaranya isteri-isteri rasul, Fatimah puteri nabi, Nafisah, dan Rabi'ah al-Adawiyah.

Jumlah wali dalam berbagai klasifikasi untuk satu zaman di seluruh dunia hanya 500 orang, kebanyakan berada di Syiria, Irak dan Mesir. Apabila seorang wali meninggal maka Allah akan melantik wali yang baru.

Para wali di atas memiliki keistimewaan-keistimewaan sehingga dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan ghaib yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Hal itu karena para wali diberi karamah, yang baik karamah lahiriyah maupun karamah maknawiyah, juga diberi ilmu-ilmu Laduni (ilmu pengetahuan yang diperoleh tanpa belajar) seperti ilham, kasyaf, firasat, rasa hati serta kemampuan yaqadzah wa musyafahah atau bisa bercakap-cakap dan berhubungan dengan rijal al-ghaib yakni orng yang berada di tempat jauh, atau telah wafat, termasuk bercakap-cakap dengan rasulullah saw.

Betulkah para wali itu memiliki keistimewaan ?

Dalam hal ini Abdul Halim Abbas menjelaskan bahwa adanya ulama wali yang ber-karamah memiliki dasar yang kuat, yakni Alqur'an surat 3 : 37 tentang Maryam yang mendapat makanan langsung dari langit (dari Allah SWT). Surat 18 : 18 tentang pemuda Al-Kahfi yang ditidurkan oleh Allah selama 309. Juga surat 27 : 40 tentang kehebatan seorang pria bernama Assaf Ibn Barkhaya yang sanggup memindahkan singgasana ratu Bilkis ke dalam kerajaan nabi Sulaiman dalam tempo sangat singkat.  Mereka bukan nabi, mereka hanyalah orang saleh yang memilki keistimewaan.

Abdul Halim Abbas menjelaskan bahwa Wali al-Aqtab (wali Ghaus) memiliki kasyaf yakni kemampuan di luar dimensi kemampuan manusia. Kemampuan itu dimiliki karena jiwa seorang wali telah sangat suci, sehingga ia mampu berhubungan dengan alam Malakut. Dengan hubunan langsung ke alam Malakut, maka seorang wali mempunyai kemampuan luar biasa, misalnya mampu mengetahui sesuatu peristiwa lebih awal dari kejadiannya sehingga ia memiliki wawasan jauh ke depan dan mampu menyelesaikan masalah masyarakat jauh melebihi pemikiran manusia biasa. Mampu menyelesaikan masalah manusia yang berkaitan dengan roh, jin, syetan, dll. Sebagaimana Abdul Qadir Jailani  menyelamatkan anak Abu Said yang diculik jin dari negeri cina. 

Wali Allah pun dapat memberikan arahan kepada anak buah dari jarak yang sangat jauh tanpa alat komunikasi modern, sebagaimana Umar Ibn Khattab dapat melihat tentaranya di Nahawand yang tertangkap kepungan musuh dari Persia padahal Umar berada di Medinah. Dengan suara lantang, Umar memberikan komando dari mimbar mesijd :" Hai Saria, larilah kebukit !". Suara Umar terdengar dari jarak puluhan kilometer sehingga tentaranya segera berlindung dibukit. Dan atas pertolongan Allah, musuh pun dapat dipukul mundur.

Senada dengan itu, Ashaari Muhammad menyatakan bahwa landasan pendapat bahwa wali Allah mempunyai ilmu Mukasayafah adalah hadits "Takutlah kamu kepada firasat orang mukmin, karena ia melihat dengan nur Allah". (HR Tirmidzi).  

Misalnya Abu Bakar dapat mengetahui jenis kelamin anaknya ketika masih dalam kandungan, padahal waktu itu kemampuan demikian merupakan sesuatu yang amat mustahil . Begitu juga Abdul Qadir Jailani dapat mengetahui asal muasal sekarung emas yang dihadiahkan oleh khalifah Al-Muntajid Billah kepadanya. Waktu itu Abdul Qadir menekankan telapak tangan ke tumpukan uang mas di karung, sehingga dari karung itu merembeslah darah, yang menandakan bahwa uang itu hasil pemerasan dari rakyat kecil.   Para wali pun bisa berada di tempat dalam satu waktuu, bisa mendatangkan makanan dari langit. Bahkan keistimewaan wali ini, menurut Ashaari Muhammad tidak sebatas ketika ia masih hidup, tetapi setelah mati pun masih melakukan hal-hal luar biasa.   Beberapa keistimewaan  tersebut adalah sebagai berikut di bawah ini.

Dalil yang digunakan oleh DA tentang adanya wali Allah yang memiliki keistimewaan adalah Alqur'an surat 3 : 37 tentang Maryam yang dapat berkomunikasi dengan malaikat dan memperoleh makanan dari langit, QS. 18 : 18 tentang pemuda al-Kahfi yang ditidurkan oleh Allah selama 309 tahun, juga QS. 27 : 40 tentang seorang pria bernama Assaf ibn Barkhaya yang sanggup memindahkan singgasanaratu Bilkis ke kerajaan nabi Sulaiman dalam sekejap mata (lihat kembali halaman 146-147).

Untuk menyoroti pendapat DA tentang wali dan karamah, dapat diketengahkan pendapat dari Sa'id Hawa. Menurut Sa'id Hawa, kadang-kadang orang yang sedang menempuh taqararub kepada Allah mendapatkan mimpi yang benar, kasyaf (tersingkapnya tirai), merasakan ilham dan kadang-kadang pula tampak pada dirinya sebuah karamah. Semua itu bukanlah tujuan bagi penempuh jalan menuju Allah (al-Salik). Kejadian itu hanyalah pertanda keterkabulan, atau merupakan kabar gembira tentang suatu perkara bagi al-Salik. 

Sa'id Hawa juga menyatakan bahwa, adanya karamah pada wali Allah tidak dapat dibantah, sebagai contoh adalah Maryam yang di datangi Malaikat dan berbicara dengannya padahal Maryam bukan seorang nabi. Terdapat kemungkinan orang selain nabi bisa mendengar atau melihat malaikat. Keadaan semacam ini disebut oleh para sufi sebagai kasyaf. 

Didalam Hadits pun terdapat tentang kasyaf, antara di dalam kitab al-Tarhib hadits nomor 262 : Dari Abu Umamah, ia berkata: "Pada siang hari yang sangat terik, rasulullah saw melintas tanah warqad. Semua orang berjalan di belakang nabi. Setelah nabi mendengar suara sandal-sandal itu merasa senang. Kemudian ia duduk berhenti sehingga orang-orang berlalu jauh di depannya. Setelah nabi melewati tanah warqad, tahu-tahu ada dua kuburan yang di dalamnya ada dua orang laki-laki. Rasulullah saw berhenti lantas bertanya : "Siapakah yang kamu kuburkan hari ini disini?" Mereka menjawab :" Si fulan dan si  Fulan !". Mereka berkata lagi :" Wahai nabi, bagaimanakah mereka ?". Rasulullah saw menjawab:"Salah seorang dari mereka tidak membersihkan air kencingnya, sedangkan yang satu lagi berjalan-jalan dengan menggunakan azimat. Lalu nabi mengambil pelepah kurma yang kering dan meletakkannya di atas kuburan itu. Mereka bertanya :"Mengapa engkau melakukan hal itu wahai nabi ?". Nabi menjawab :" Agar meringankan keduanya". Mereka bertanya lagi :" Wahai rasulullah, sampai kapan mereka disiksa ?". Rasulullah menjawab :" Ini hal yang ghaib, tidak ada yang mengetahui kecuali Allah. Kalau tidak karena hati kamu berbuih (kotor), dan sering menmbah-nambah pembicaraan, niscaya kamu akan mendengar apa yang aku dengar". (HR Ahmad).

Perhatikan ucapan nabi yang terakhir :" Kalau tidak karena hati kamu berbuih (kotor) dan sering menambah-nambah pembicaraan, niscaya kamu mendengar apa yang saya dengar". Kata Sa'id Hawa, ucapan ini menjadi dasar bahwa seseorang bisa saja mendengar sesuatu dari alam gaib apa bola benar-benar hatinya bersih. Jadi adanya kasyaf memiliki dalil yang kuat.

Berdasarkan ayat Alqur'an dan hadits diatas, adanya kasyaf memiliki dalil yang cukup. Masalahnya kini adalah orang sering salah tafsir tentang kasyaf. Kesalahan itu antara lain
(i)    Hasil kasyaf bisa menjadi tambahan atau ketetapan baru setelah al-Qur'an, kalau begitu sama saja dengan beranggapan bahwa syari'at yang dibawa oleh nabi saw belum sempurna.
(ii)  Orang-orang taat total atau taqlied kepada para sufi yang mendapat kasyaf tanpa melihat dan berpedoman kepada hukum syari'at, seakan-akan sufi itu orang ma'shum, padahal mungkin saja itu bukan kasyaf tetapi istijrad

Kasyaf mungkin didapat oleh orang-orang yang sedang menempuh perjalanan taqarrub kepada Allah tetapi kasyaf bukanlah aqidah baru dan bukan pula ibadah baru. Perlu diketahui, bahwa kasyaf merupakan ujian iman, mungkin saja seseorang tergelincir atau menggelincirkan orang lain dengan kasyafnya.

Selanjutnya Sa'id Hawa menjelaskan perihal mimpi para wali. Menurutnya mimpi para wali. Menurutnya mimpi itu beragam, yakni
(i)     Mimpi karena pengaruh kecemasan, kegelisahan dan dorongan nafsu yang disebut al-Ra'yun Nafsiyah.
(ii)            Mimpi karena syetan memanfaatkan kegelisahan atau hayalan.
(iii)          Mimpi yang berasal dari Tuhan yang disebut al-Ra'yun Rabbaniyah.  Mengenai mimpi Rabbani ini nabi menjelaskan "Tidak ada kenabian setelah aku, kecuali kabar-kabar gembira". Mereka bertanya :"Apakah kabar gembira itu?". Nabi menjawab :" Mimpi yang benar".  Hadits lain menegaskan :"Mimpi-mimpi seorang mukmin merupakan bagian dari ke 46 dari kenabian (Hadits riwayat Bukari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).

Sa'id Hawa menegaskan : Ada yang berkata bahwa jika seseorang bermimpi melihat nabi (bertemu, didatangi) rasulullah – padahal rasul tak dapat ditiru bentuk dan rupanya oleh syetan – lalu memerintahkan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari'at Islam, maka dalam hal ini kami katakana anda telah menghayal, mengigau, dan dilarang untuk mengikuti mimpi itu". Banyak para syaikh yang melakukan amal perbuatan atas dasar mimpi. Hal itu menurut ahli fiqih termasuk katagori bid'ah".  Hemat penulis, pendapat Sa'id Hawa tentang kasyaf memiliki dalil yang kuat dan sangat dapat difahami.

Yaqadzah wa musyafahah adalah bertemu bercakap dengan rijal al-ghaib termasuk bertemu dengan rasulullah dalam keadaan jaga (bukan mimpi) bahkan sampai mampu bercakap-cakap dengan rasulullah. Alasannya sbb :

Alasan pertama, surat Albaqarah ayat 154 : " Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, bahkan sebenarnya mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya". Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah pada hakikatnya tidak mati namun tetap hidup. Akan tetapi orang-orang di dunia tidak menyadarinya.

Alasan kedua, ketika seseorang memasuki daerah pekuburan muslimin disunnatkan mengucap-kan assalamu'alaikum ya ahl al-diyar.

Alasan ketiga, di dalam kitab Zarkoni syarah Mawahib al-Ladunya Juz 5 pasal 332 terhadap hadts riwayat Baihaki dari Annas yang menyebutkan : Para nabi hidup di dalam kubur mereka, senantiasa dalam keadaan shalat".

Demikian juga hadits riwayat Ahmad, Muslim dan Nasa-i :"Saya (Nabi) bertemu dengan Musa di Katib Ahmar, beliau berdiri shalat di kuburannya ".

Alasan Keempat, Imam Abu Shaik di dalam kitab Ghaus al-Ibad menulis sebuah hadits :" Sesungguhnya sebahagian sahabat nabi telah mendirikan sebuah bangunan (kemah) diatas sebuah kuburan yang tidak diduga bahwa itu kuburan manusia, tiba-tiba dari dalam kuburan itu terdengar ada orang yang membaca surat al-Muluk sampai selesai. Lantas sahabat memberitahukan kejadian ini kepada nabi, maka nabipun bersabda: "Itulah surat yang dapat menghindarkan dan menyelamatkan kamu dari siksa kubur".

Alasan kelima : Hadits riwayat Imam Bukhari : “Barang siapa melihatku dalam keadaan mimpii, maka ia akan melihatku di dalam keadaan jaga. Dan syetan tidak bisa menyerupai wajahku.
Berdasarkan hadits itu, orang-orang Darul Arqam berpendapat bahwa  orang saleh yang telah wafat sebenarnya tidak wafat tetapi masih hidup. Dengan demikian tidaklah aneh jika mereka bisa ditemui.

Ashaari menegaskan : "Jadi kalau nabi-nabi itu hidup di dalam kubur dan melakukan amalan-amalan, maka memanglah mungkin mereka itu boleh ditemui secara jaga dan bercakap-cakap serta belajar".   

Selanjutnya ia menerangkan, bahwa perintah dan larangan yang dihasilkan dari yaqadzah bisa dijadikan pegangan. Ia mengutip dari kitab Al-Qashash al-Kubra Imam Al- Sayuti yang menyatakan sbb: "Seseorang yang berjumpa dengan nabi saw baik dalam mimpi atau jaga, dan nabi menyurh sesuatu perbuatan sunnah, atau melarang sesuatu larangan atau menunjukkan sesuatu yang baik, maka tidak ada pertikaian antara para ulama, itu termasuk sunnat untuk mengamalkannya".

Berdasarkan itu, maka
(i)       Seorang wali Kutub bisa bertemu dengan nabi dalam keadaan jaga dan bercakap-cakap atau Yaqazah wa musyafahah.
(ii)            Amalan-amalan sunnat dan larangan-larangan yang diterima oleh wali ketika dia bertemu dengan nabi baik dalam mimpi atau dalam keadaan jaga adalah sunnat untuk diamalkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan komentar ya...