Kamis, November 18, 2010

Komisi Pengawas Persaingan Usaha



Bagaimana Kondisi Petani Kelapa Sawit?


Senin, 15 November 2010, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengadakan audiensi dengan KPPU terkait beberapa permasalahan dalam industri kelapa sawit. SPKS merupakan wadah perkumpulan para petani kelapa sawit yang mewakili enam wilayah perkebunan sawit di Indonesia, yaitu wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jambi, Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Dalam kegiatannya, SPKS juga berfokus pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan petani sawit. Kebijakan yang dirasa merugikan petani sawit adalah kebijakan penetapan harga TBS dan kebijakan revitalisasi perkebunan.


Pihak SPKS menyatakan bahwa terdapat ketidakadilan dalam penetapan harga TBS. Penetapan harga TBS tidak mengikutsertakan petani secara aktif, sehingga petani tidak memiliki bargaining position. Data-data yang dijadikan acuan oleh pemerintah hanyalah data yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan kelapa sawit. Hal tersebut mengakibatkan harga yang diterima petani tidak sesuai dengan biaya-biaya produksi yang sudah dikeluarkan oleh petani. Petani hanya menerima hasil kebijakan yang dirasa tidak sesuai dengan kondisi petani. SPKS dan para petani sawit menduga adanya monopoli yang dilegalkan dalam kebijakan pemerintah. 


SPKS menduga ada monopoli yang dilegalkan pemerintah melalui kebijakan penentuan harga melalui indeks K. Indeks K adalah nilai prosentase yang dibebankan petani. Indeks K meliputi operasional pabrik dan operasional pegawai pengelola yang dibebankan kepada petani. Beban tersebut meliputi biaya pengelolaan limbah, gaji staf pabrik, pengangkutan CPO ke pelabuhan, biaya distribusi, biaya pemeliharaan mesin-mesin pabrik. Kerugian yang dialami petani jika dinominalkan kurang lebih sebesar 12,9 triliun per tahun.

Selain permasalahan tersebut, pola kebun yang diatur dalam revitalisasi perkebunan juga menjadi masalah. Seluruh kebun plasma sepenuhnya dikelola oleh perusahaan. Dahulu, petani yang mengelola perkebunan mereka sendiri. Saat ini, petani dirumahkan dan mendapat bayaran. Para petani menduga telah terjadi sentralisasi pengelolaan kebun ke pelaku usaha.

Permasalahan lain yang dihadapi petani kelapa sawit adalah distribusi pupuk. Petani seringkali merasakan kelangkaan pupuk dengan biaya pupuk yang mahal. Pelaku usaha memiliki hak istimewa karena dapat mengakses langsung ke pabrik pupuk, sedangkan petani mendapatkan pupuk setelah melalui beberapa pihak. Hal tersebut yang mengakibatkan harga pupuk manjadi mahal diterima petani.

Pihak KPPU yang diwakili oleh Dedi Saniardi, analis kebijakan KPPU yang menangani masalah pupuk mengatakan, “Sebenarnya kebijakan pemerintah mengenai penetapan harga TBS merupakan solusi yang baik karena melibatkan banyak komponen, termasuk juga petani sawit sendiri. Namun, jika ada masalah dalam implementasinya, kemungkinan proses monitoring penentuan harga tersebut terdapat permasalahan. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya melakukan monitoring terhadap proses implementasi kebijakan di lapangan.”

Selain itu, Zaki Zein Badroen, Plh. Kabiro Humas dan Hukum menyarankan agar SPKS menyampaikan laporan lengkap secara tertulis yang ditujukan kepada Ketua KPPU, disertai dengan data dan bukti-bukti pendukung. KPPU berharap dapat melihat permasalahan ini setelah melalui analisa dan kajian. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari berbagai stakeholder dalam industri kelapa sawit di Indonesia agar permasalahan ini dapat diselesaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan komentar ya...